Amicus curiae (sahabat pengadilan) jadi viral belakangan ini karena Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri maju ke meja hijau konstitusi untuk Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 yang sedang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, MK juga menerima pengajuan amicus curiae dari empat organisasi kemahasiswaan yaitu Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH Universitas Padjajaran, BEM FH Universitas Dipenogoro, serta BEM FH Universitas Airlangga.
Namun kali ini, sorotan ke Megawati dirasa perlu karena dedengkot dari kubu 03 ini langsung turun tangan ke persidangan. Sementara, posisi amicus curiae membuat mereka yang mengajukan tidak bertindak sebagai pihak yang sedang dalam perkara, tetapi hanya berkepentingan menyampaikan informasi terhadap kasus secara khusus.
Bagi Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan menilai, kehadiran Megawati yang menjadi sahabat pengadilan, secara psikologis tentu bobotnya berbeda dibanding WNI atau tokoh lainnya. Tidak heran bila menjadi langkah jitu dari kubu 03 untuk memenangkan gugatan.
“Bagaimanapun Mega adalah mantan Presiden RI sekaligus ketua umum parpol besar,” kata Yusak kepada Alinea.id, Kamis (18/4).
Yusak pun menganggap, sosok Megawati dalam persidangan merefleksikan simbol kegelisahan bersama kepada publik atas dugaan kecurangan pemilu. Meskipun tidak bisa menjadi alat bukti, pengaruhnya itu yang akan menjadi kekuatan.
Tidak ada yang ganjil dalam strategi pemenangan kali ini. Lantaran, pemberian opini hukum masyarakat merupakan praktik yang lazim dalam dunia peradilan.
“Jadi kembali pada Hakim MK apakah amicus curiae akan dipertimbangkan atau tidak,” ujarnya.
Lain cerita, bagi Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran Fahri Bachmid mengingatkan, amicus curiae secara generik biasanya digunakan pada negara-negara yang menggunakan sistem hukum "common law". Bagi Indonesia dengan sistem hukum "civil law system" pranata ini tidak terlalu umum digunakan.
Pakar Hukum Tata Negara ini pun menguraikan bahwa secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sementara secara praksis hukum, sesungguhnya praktik amicus curiae lebih condong dipraktikan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Berdasarkan UU No. 24/2003 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 7/2020 tentang MK, serta Peraturan MK nomor 4/2023 tentang tata beracara dalam penyelesaian sengketa Pilpres sama sekali tidak dikenal adanya pranata hukum amicus curiae.
Bukan tanpa alasan, sebab pada dasarnya hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa PHPU Pilpres, sandarannya adalah konstitusi. Kemudian, fakta-fakta hukum yang secara terang benderang telah disajikan dalam persidangan.
Ia mengingatkan, MK tidak memutuskan suatu perkara konstitusi berdasarkan opini atau pendapat. Apalagi yang dikemas dalam bingkai amicus curiae, belum lagi pihak-pihak yang mengajukan dirinya mempunyai conflict of interest secara subjektif terhadap perkara itu sendiri.
Ia berharap, pihak lainnya dapat menunggu keputusan hakim yang saat ini tengah dibicarakan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Apalagi menurutnya, hakim telah diperkaya dengan fakta dan alat bukti.
“Kami harapkan MK sejauh mungkin memghindarkan diri dari fenomena kontemporer amicus curiae,” ucap Fahri Bachmid kepada Alinea.id, Kamis (17/4).
Megawati pun dinilai tidak pantas untuk mengambil peran sebagai amicus curiae. Mengingat dirinya adalah Ketua Umum PDI Perjuangan yang sedang berpekara di sidang kali ini.
Sarat konflik kepentingan yang harusnya dimiliki oleh sahabat pengadilan sudah dilanggarnya. Tentu, bila tetap dilakukan.
“Tidak tepat (Megawati jadi amicus curiae), karena konflik kepentingan,” ujarnya.